harmonious family
father and son full of love.
I love this family: ')
arozawato
Senin, 08 April 2013
Senin, 04 Februari 2013
SAYAP BARU UNTUK TERBANG..
aku dulu hanya bisa terbang dengan sayap
yang terbuat dari besi
tapi suatu ketika sayap itu patah dan aku
benar-benar merasa kehilangan
sayapku sudah benar-benar patah
dan tidak seperti yang aku harapkan....
tetapi Dia
Dia memberiku sepasang sayap yang baru...
sekarang aku dapat terbang jauh lebih tinggi
dari sebelumnnya
Selasa, 01 Januari 2013
Selasa, 04 Desember 2012
SEJARAH POLRI
Zaman Hindia BelandaKedudukan, tugas, fungsi, organisasi, hubungan dan tata cara kerja kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu diabdikan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian tidak pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam Negeri memang berkantor “Hoofd van de Dienst der Algemene Politie” yang hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian, pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan kepolisian.
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, pada kepolisian juga diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent (bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Untuk pribumi selama menjadi agen polisi diciptakan jabatan seperti mantri polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktek peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerecht dan raad van justitie.
Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, pemerintahan kepolisan Jepang membagi Indonesia dalam dua lingkungan kekuasaan, yaitu:
1. Sumatera, Jawa, dan Madura dikuasai oleh Angkatan Darat Jepang.
2. Indonesia bagian timur dan Kalimantan dikuasai Angkatan Laut Jepang.
Dalam masa ini banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya. Pusat kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho. Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa pendudukan Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga memimpin organisasi yang disebut keibodan (semacam hansip).
Zaman Revolusi Fisik
Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi kepolisian menjadi kepolisian Indonesia yang merdeka.
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan kedudukan polisi sebagai Polisi Republik Indonesia menyusul dibentuknya Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29 September 1945 Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebut berbunyi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”
Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan perundang-undangan, karena masih diberlakukan peraturan perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian, seperti tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada perdana menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Negara yang memimpin kepolisian di seluruh tanah air. Dengan demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang sampai hari ini diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah jumlah anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police population ratio” waktu itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu personel, atau 1:1.300)
Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka Polri di samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948 dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (tanggal 22 Desember 148).
Zaman RIS
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.
Zaman Demokrasi Parlementer
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia (P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya (mengacu standar PBB).
Dalam periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet berganti rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana menteri membenahi organisasi dan administrasi serta membangun laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta mengirim ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika Serikat.
Zaman Demkrasi Terpimpin
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir. Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio.
Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian. Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karir Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959.
Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.
Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD, Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan. Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian (Menkasak).
Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964 kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
a. Alat Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Sementara di tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Zaman Orde Baru
Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota AL danAU memakai tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan Polisi.
Zaman Reformasi
Adanya Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Untuk sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis pemisahan tidak berjalan efektif.
Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas.
Sementara itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan, pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah presiden.
Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, naun sesungguhnya ia masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasinal) yang merupakan lembaga independen.
Adapun tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier.
Memberi peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam menyelesaikan konfliknya sampai pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan perasaan takut bila ia melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh pada hukum secara alamiah.
Senin, 10 September 2012
Pelajaran Hemat dari Pria Terkaya di Cina
Meski menjadi pria terkaya di Cina, dan terkaya nomor 23 secara global, Zong Qinghou adalah pria yang sangat hemat dalam menggunakan uangnya.
Menurut Bloomberg News, Zong, pendiri perusahaan minuman ringan Wahaha berusia 66 tahun ini, hanya menggunakan $20 per hari (atau Rp 190 ribu) meski ia memiliki kekayaan $21,6 miliar (atau Rp 206,1 triliun). Seperti terungkap oleh Nick Rosen dari BBC musim panas lalu, Zong memiliki pengabdian seperti biksu terhadap tugas-tugasnya. Salah satu karyawan Wahaha ingat bagaimana Zong memeriksa dengan teliti tiap pengeluaran kantornya, termasuk buat pembelian sapu.
Karir Zong berawal dari penjaga kantin di sekolah sampai menjadi raja minuman ringan dalam 20 tahun, sehingga sangat wajar kekayaannya itu tidak membuat dia lupa daratan. Seperti kebanyakan orang kaya lainnya yang berpenghasilan $100 ribu (atau Rp 954 juta) dan dikutip oleh PNC Financial Services, resesi tidak berpengaruh pada tujuan rencana pensiun mereka.
Selain menjadi penabung yang disiplin seperti Zong, seperti banyak responden survey PNC lainnya, 46% mengatakan mereka bekerja keras untuk mengurangi utang, 33% mengubah kebiasaan belanja mereka, dan 23% membayar utang rumah. Selain itu, mereka juga berencana terus bekerja pada usia emas mereka, dan tiga perempat mengatakan akan tetap bekerja, meski sedikit, setelah pensiun.
Anda tak perlu hemat seperti Zong, meski begitu sangat penting untuk melihat kebiasaan-kebiasaan apa saja yang membuat pria ini jadi kaya. Ia bekerja keras, mengikuti minatnya, dan hidup jauh di bawah pendapatannya. Sampai sekarang pun dia tidak mengubah gaya hidupnya meski sudah kaya. Sederhananya, dia berpikir seperti orang kaya, dan itu mendatangkan banyak uang buatnya.
Kamis, 06 September 2012
Jumat, 24 Agustus 2012
Organic farming is a form of agriculture that excludes the use of synthetic fertilizers and pesticides (CREATED AROZAWATO PUTRA KUSUMA GEA)
Chapter. I Antecedent
A. Background
The existing healthy life culture has become compulsion. At least for middle circle upward. Consumes organic crop is correct answer. Organic farming is avoiding agro product system or hardly limits chemistry fertiliser use ( factory), pesticide, herbicide, regulator matter grows and feed additive.
Crop conducting with vision of area of is an agriculture conducting planned executed and by paying attention to characters, condition and environment continuity, thereby natural resources in environment can be exploited as good as possible so that damage and retrogression of avoidable area and preserves natural resources useful power and environment.
B. Purpose of
This handing out aim to explain to procedures readers in farming organic crop.
C. Writing Method
Writing method applied is book study method. Method is a method with looking or collects sources/data which is relevant from my books/internet.
D. Writing Systematic Way
Chapter I. Antecedent contains about Background, Purpose, Research Method and Writing Systematic Way
Chapter II. Farming Organic
Chapter III. Function
Chapter IV. Conclusion
II. FARMING ORGANIC
A. Definition
Organic farming is a form of agriculture that excludes the use of synthetic fertilizers and pesticides, plant growth regulators, livestock feed additives, and genetically modified organisms. As far as possible, organic farmers rely on crop rotation, green manure, compost, biological pest control, and mechanical cultivation to maintain soil productivity and control pests.
Since 1990 the market for organic products has grown at a rapid pace, averaging 20-25 percent per year to reach $33 billion in 2005. This demand has driven a similar increase in organically managed farmland. Approximately 306,000 square kilometres (30.6 million hectares) worldwide are now farmed organically, representing approximately 2% of total world farmland. In addition, as of 2005 organic wild products are farmed on approximately 62 million hectares (IFOAM 2007:10). Organic agricultural methods are internationally regulated and legally enforced by many nations, based in large part on the standards set by the International Federation of Organic Agriculture Movements, an international umbrella organization for organic organizations established in 1972. The overarching goal of organic farming is defined as follows:
"The role of organic agriculture, whether in farming, processing, distribution, or consumption, is to sustain and enhance the health of ecosystems and organisms from the smallest in the soil to human beings."
B. History
The organic movement began in the 1930s and 1940s as a reaction to agriculture's growing reliance on synthetic fertilizers. Artificial fertilizers had been created during the 18th century, initially with superphosphates and then ammonia derived fertilizers mass-produced using the Haber-Bosch process developed during World War I. These early fertilizers were cheap, powerful, and easy to transport in bulk. The 1940s has been referred to as the 'pesticide era'. Sir Albert Howard is widely considered to be the father of organic farming. Rudolf Steiner , a German philosopher, made important strides in the earliest organic theory with his biodynamic agriculture. More work was done by J.I. Rodale in the United States, Lady Eve Balfour in the United Kingdom, and many others across the world.
As a percentage of total agricultural output, organic farming has remained tiny since its beginning. As environmental awareness and concern increased, the originally supply-driven movement became demand-driven. Standardized certification brought premium prices, and in some cases government subsidies attracted many farmers into converting. In the developing world, many farmers farm according to traditional methods but are not certified. In other cases, farmers in the developing world have converted out of necessity. As a proportion of total global agricultural output, organic output remains small, but it has been growing rapidly in many countries, notably in Europe.
C.Methods
Organic cultivation of mixed vegetables in Capay, California. Note the hedgerow in the background.
"An organic farm, properly speaking, is not one that uses certain methods and substances and avoids others; it is a farm whose structure is formed in imitation of the structure of a natural system that has the integrity, the independence and the benign dependence of an organism"
—Wendell Berry, "The Gift of Good Land"
The term holistic is often used to describe organic farming, Enhancing soil health is the cornerstone of organic farming. A variety of methods are employed, including crop rotation, green manure, cover cropping, application of compost, and mulching. Organic farmers also use certain processed fertilizers such as seed meal, and various mineral powders such as rock phosphate and greensand, a naturally occurring form of potash. These methods help to control erosion, promote biodiversity, and enhance the health of the soil.
Pest control targets animal pests (including insects), fungi, weeds and disease. Organic pest control involves the cumulative effect of many techniques, including, allowing for an acceptable level of pest damage, encouraging or even introducing beneficial organisms, careful crop selection and crop rotation, and mechanical controls such as row covers and traps. These techniques generally provide benefits in addition to pest control—soil protection and improvement, fertilization, pollination, water conservation, season extension, etc.—and these benefits are both complementary and cumulative in overall effect on farm health . Effective organic pest control requires a thorough understanding of pest life cycles and interactions.
Weeds are controlled mechanically, thermically and through the use of covercrops and mulches.
D. Genetically modified organisms
A key characteristic of organic farming is rejection of genetically engineered products, including plants and animals. On October 19, 1998, participants at IFOAM's 12th Scientific Conference of IFOAM) issued the Mar del Plata Declaration, where more than 600 delegates from over 60 countries voted unanimously to exclude the use of genetically modified organisms in food production and agriculture. From this point, it became widely recognized that GMOs are categorically excluded from organic farming.
Despite this vehement opposition to use of any transgenic technologies in organic farming, agricultural researchers such as Luis Herrera-Estrella & Ariel Alvarez-Morales continue to advocate integration of transgenic technologies into organic farming as the optimal means to sustainable agriculture, particularly in the developing world.
Although GMOs are excluded from use in organic farming, there is concern that the pollen from genetically modified crops is increasingly contaminating organic and heirloom genetics making it difficult, if not impossible, to keep these genetics from entering the organic food supply. International trade restrictions limit the availability GMOs to certain countries.
The actual dangers that genetic modification could pose to the environment or, supposedly, individual health, are hotly contended. See GM food controversy.
E. Pesticides
Due to the increased concern for the risk to human health, as well as the recent and ongoing development of pesticide resistance, need to reduce use of pesticides is well recognised but implementation for reduction and elimination of pesticide is technologically very difficult. Most organic farm products use reduced pesticide claim but very few manage to eliminate the use of pesticide entirely.
While organic farming can, with extra cost, easily substitute chemical fertilizer with organic one, finding an alternative method for eliminating weed as well as insect which feast on crop is difficult. One obvious solution is to create pest resistant GM crop which is anathema to organic farming movement.
One natural method to counter pesticide is introduce natural predator in place of pesticide, which has various control issue. Another method is crop rotation which restrict expansion of insect population. For weed elimination, traditional method was to remove weed by hand, which is still practised in developing countries by small scale farmers. However, this is found to be too costly in developed countries with high labour cost. One recent innovation in rice farming is to introduce duck and fish to wet paddy field, which eat both weed and insect.
F. Productivity and Profitability
A 2006 study suggests that converted organic farms have lower pre-harvest yields than their conventional counterparts in developed countries (92%) and that organic farms have higher pre-harvest yields than their low-intensity counterparts in developing countries (132%). The researcher attributes this to a relative lack of expensive fertilizers and pesticides in the developing world compared to the intensive, subsidy-driven farming of the developed world. Nonetheless, the researcher purposely avoids making the claim that organic methods routinely outperform green-revolution (conventional) methods. This study incorporated a 1990 review of 205 crop comparisons which found that organic crops had 91% of conventional yields. A major US survey published in 2001, analyzed results from 150 growing seasons for various crops and concluded that organic yields were 95-100% of conventional yields.
Lotter (2003:10) reports that repeated studies have found that organic farms withstand severe weather conditions better than conventional farms, sometimes yielding 70-90% more than conventional farms during droughts. A 22-year farm trial study by Cornell University published in 2005 concluded that organic farming produces the same corn and soybean yields as conventional methods over the long-term averages, but consumed less energy and used zero pesticides. The results were attributed to lower yields in general but higher yields during drought years. A study of 1,804 organic farms in Central American hit by Hurricane Mitch in 1998 found that the organic farms sustained the damage much better, retaining 20 to 40% more topsoil and smaller economic losses at highly significant levels than their neighbors.
On the other hand, a prominent 21-year Swiss study found an average of 20% lower organic yields over conventional, along with 50% lower expenditure on fertilizer and energy, and 97% less pesticides. A long-term study by U.S Department of Agriculture Agricultural Research Service (ARS) scientists concluded that, contrary to widespread belief, organic farming can build up soil organic matter better than conventional no-till farming, which suggests long-term yield benefits from organic farming.
While organic farms have lower yields, organic methods require no synthetic fertilizer and pesticides. The decreased cost on those inputs, along with the premiums which consumers pay for organic produce, create higher profits for organic farmers. Organic farms have been consistently found to be as or more profitable than conventional farms with premiums included, but without premiums profitability is mixed (Lotter 2003:11). Welsh (1999) reports that organic farmers are more profitable in the drier states of the United States, likely due to their superior drought performance.
G. Capacity building
Organic agriculture can contribute to meaningful socio-economic and ecologically sustainable development, especially in poorer countries. On one hand, this is due to the application of organic principles, which means efficient management of local resources (e.g. local seed varieties, manure, etc.) and therefore cost-effectiveness. On the other hand, the market for organic products – at local and international level – has tremendous growth prospects and offers creative producers and exporters in the South excellent opportunities to improve their income and living conditions.
Organic Agriculture is a very knowledge intensive production system. Therefore capacity building efforts play a central role in this regard. There are many efforts all around the world regarding the development of training material and the organization of training courses related to Organic Agriculture. Big parts of existing knowledge is still scattered and not easy accessible. Especially in Developing Countries this situation remains an important constraint for the growth of the organic sector.
For that reason, the International Federation of Organic Agriculture Movements created an Internet Training Platform whose objective is to become the global reference point for Organic Agriculture training through free access to high quality training materials and training programs on Organic Agriculture. In November 2007, the Training Platform hosted more than 170 free manuals and 75 training opportunities.
Chapter. III Function
A. Health Risk
Organic farms use few pesticides although they are allowed to use some natural ones. The main three are Bt, pyrethrum and rotenone. However, surveys have found that fewer than 10% of organic farmers use these pesticides regularly; one survey found that only 5.3% of vegetable growers in California use rotenone while 1.7% use pyrethrum (Lotter 2003:26). Nevertheless, rotenone has been linked to Parkinson's in rats and can be considered toxic to humans (Lotter 2003:26).
B. Children’s Health
Some parents are concerned about the potential neurological health risks posed to children by trace pesticide residues in food. A 2001 study demonstrated that children fed organic diets experienced significantly lower organophosphorus pesticide exposure than children fed conventional diets. A similar study in 2006 measured the levels of organophosphorus pesticide exposure in 23 preschool children before and after replacing their diet with organic food: levels of organophosphorus pesticide exposure dropped dramatically and immediately when the children switched to an organic diet. Although the researchers did not collect health outcome data in this study, they concluded "it is intuitive to assume that children whose diets consist of organic food items would have a lower probability of neurologic health risks."
C. Food Quality
Healthy soils equals healthy food equals healthy people is a basic tenet of many organic farming systems.
There is extensive scientific research being carried out in Switzerland at over 200 farms to determine differences in the quality of organic food products compared to conventional in addition to other tests. The FiBL scientific research institute states that "organic products stand out as having higher levels of secondary plant compounds and vitamin C. In the case of milk and meat, the fatty acid profile is often better from a nutritional point of view. As far as carbohydrates and minerals, organic products are no different from conventional products. However, in regard to undesirables such as nitrate and pesticide residues, organic products have a clear advantage. A recent study found that organically grown produce has double the flavonoids, an important antioxidant. A 2007 study found that organically grown kiwi fruits had more antioxidants than conventional kiwi.
A study which isolated clear health benefits from eating organic foods was published in 2007.
D. Nutrient Leaching
Excess nutrients in lakes, rivers, and groundwater can cause algal blooms, eutrophication, and subsequent dead zones. In addition, nitrates are harmful to aquatic organisms by themselves. The main contributor to this pollution is nitrate fertilizers whose use is expected to "double or almost triple by 2050". Researchers at the United States National Academy of Sciences found that that organically fertilizing fields "significantly [reduces] harmful nitrate leaching" over conventionally fertilized fields: "annual nitrate leaching was 4.4-5.6 times higher in conventional plots than organic plots".
Scientists believe that the large dead zone in the Gulf of Mexico is caused in large part by agricultural pollution: a combination of fertilizer runoff and livestock manure runoff. A study by the United States Geological Survey (USGS) found that over half of the nitrogen released into the Gulf comes from agriculture. The economic cost of this for fishermen may be large, as they must travel far from the coast to find fish.
At the 2000 IFOAM Conference, researchers presented a study of nitrogen leaching into the Danube River. They found that nitrogen runoff was substantially lower among organic farms and suggested that the external cost could be internalized by charging 1 euro per kg of nitrogen released.
A 2005 study published in Nature found a strong link between agricultural runoff and algae blooms in California.
IV. Conclusion
A. Conclusion
Based on above article, hence inferential that:
1. Organic crop good for health, safe consumed and its content enough good.
2. Area of protected from damage as result of usage of chemical matters.
3. Increases resilience of crop to attack a number of organisms of crop intruder.
4. Increases antagonistic microorganism activity which able to assist increasing soil fertility.
5. Prevents erosion.
6. Increases agricultural produce taste goal.
7. Increases nutrition content.
8. Increases fruit texture.
9. Increased holding time.
Langganan:
Postingan (Atom)